Kehidupan berdampingan dengan manusia ternyata mampu mengubah ukuran tubuh dan perilaku satwa liar. Bukti terbaru dari penelitian genomik pada beruang cokelat Apennine di Italia Tengah menunjukkan bahwa populasi kecil beruang ini berevolusi menjadi bertubuh lebih kecil dan berperilaku lebih tenang sebagai respons jangka panjang terhadap tekanan hidup di dekat permukiman manusia.
Penelitian ini mengungkap bagaimana interaksi manusia dan satwa liar tidak hanya berdampak langsung pada kelangsungan hidup, tetapi juga membentuk adaptasi genetik lintas generasi.
**Adaptasi Genetik dari Tekanan Lingkungan**
Riset yang dipimpin Dr. Andrea Benazzo dari Universitas Ferrara (UniFE), Italia, meneliti bagaimana genom—peta lengkap DNA makhluk hidup—menyimpan rekam jejak adaptasi dan risiko kepunahan pada populasi satwa liar berukuran kecil.
Secara biologis, beruang cokelat Apennine diklasifikasikan sebagai subspesies, yaitu bentuk regional yang berbeda dalam satu spesies beruang cokelat. Dibandingkan beruang cokelat lain di Eropa atau Amerika Utara, beruang Apennine memiliki fenotipe khas—ciri fisik dan perilaku yang dibentuk oleh kombinasi gen dan lingkungan.
**Sejarah Isolasi Geografis**
Populasi beruang Apennine telah lama terisolasi di wilayah pegunungan Italia Tengah. Ukuran populasi yang kecil dan keterpisahan geografis membuat mereka berkembang secara berbeda.
“Salah satu penyebab utama penurunan dan isolasi ini kemungkinan adalah pembukaan hutan yang berkaitan dengan ekspansi pertanian dan meningkatnya kepadatan penduduk manusia di Italia Tengah,” ungkap Benazzo.
**Pengaruh Genetic Drift**
Dalam populasi kecil, genetic drift—perubahan gen secara acak—dapat memiliki pengaruh sebesar atau bahkan melebihi seleksi alam. Akibatnya, sifat-sifat tertentu bisa menjadi dominan meskipun tidak selalu menguntungkan dalam jangka panjang.
**Tekanan Seleksi dari Aktivitas Pertanian**
Selama berabad-abad, pertanian, kebun buah, dan jaringan jalan telah masuk ke lembah-lembah yang juga menjadi tempat beruang mencari makan dan berhibernasi. Kedekatan ini menciptakan tekanan seleksi: individu dengan perilaku tertentu memiliki peluang hidup dan berkembang biak yang lebih besar.
Ketika manusia membunuh atau memindahkan beruang yang dianggap berbahaya bagi ternak atau keselamatan, secara tidak langsung mereka menyaring perilaku yang diwariskan ke generasi berikutnya. Beruang yang lebih tenang cenderung bertahan dan memiliki keturunan.
**Debat Sifat Genetik vs Pembelajaran**
Agresivitas bukanlah sifat tunggal. Ia dipengaruhi oleh hormon, struktur otak, proses belajar, hingga stres dini. Para ilmuwan masih memperdebatkan apakah satwa liar yang lebih tenang hanyalah hasil pembelajaran dan kebiasaan, atau benar-benar akibat perubahan genetik.
Untuk menjawabnya, peneliti mencari pola DNA yang berkaitan dengan perilaku tertentu dan membandingkannya dengan populasi beruang lain di wilayah berbeda.
**Metodologi Genomik Canggih**
Tim UniFE membangun genom referensi berkualitas tinggi untuk beruang Apennine. Mereka menganalisis genom lengkap dari beruang lokal dan membandingkannya dengan beruang dari Slovakia serta Amerika Utara.
Dengan menyusun DNA hingga tingkat kromosom utuh, para peneliti dapat menghindari celah data yang sering menyembunyikan variasi genetik langka namun penting.
**Temuan Keragaman Genetik Rendah**
Hasilnya menunjukkan bahwa beruang Apennine memiliki keragaman genetik yang jauh lebih rendah dibandingkan beruang Slovakia. Tanda-tanda perkawinan sedarah (inbreeding) juga sangat kuat.
Genom mereka mengandung rentang panjang homozygosity, yakni bagian DNA identik dari kedua induk. Pada banyak individu, bagian ini mencakup lebih dari 66 persen genom, menandakan perkawinan dekat yang relatif baru—dalam sekitar sepuluh generasi terakhir.
**Risiko Kesehatan Populasi**
Kondisi ini berisiko bagi kesehatan, kesuburan, dan ketahanan populasi. Keragaman genetik yang rendah membuat mereka rentan terhadap penyakit, kelangkaan pangan, dan perubahan iklim.
**Bukti Seleksi Positif**
Saat memindai genom untuk mencari tanda seleksi positif, peneliti menemukan banyak variasi gen di wilayah non-coding DNA—bagian yang tidak menghasilkan protein, tetapi dapat memengaruhi regulasi perilaku.
Temuan ini sejalan dengan teori pengelolaan satwa liar: beruang agresif lebih sering disingkirkan, sementara individu yang lebih jinak memiliki peluang lebih besar untuk berkembang biak.
**Adaptasi vs Habituasi**
Selain faktor genetik, beruang juga bisa belajar. Habituasi, yaitu terbiasa dengan kehadiran manusia tanpa menganggapnya ancaman, dapat menurunkan stres di lingkungan padat. Namun, adaptasi genetik berbeda karena memengaruhi kecenderungan perilaku sejak lahir.
**Evolusi Ukuran Tubuh**
Ukuran tubuh mamalia besar dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, iklim, dan tingkat bahaya. Pada beruang Apennine, tubuh yang lebih kecil mungkin membutuhkan lebih sedikit kalori dan jarak jelajah yang lebih pendek, sehingga mengurangi kemungkinan bertemu manusia.
**Dinamika Perubahan Evolutif**
Perilaku dapat berubah relatif cepat saat menyangkut kelangsungan hidup, sementara perubahan fisik biasanya mengikuti dalam jangka waktu generasi panjang.
**Dilema Konservasi**
Melindungi beruang Apennine berarti menyeimbangkan keselamatan masyarakat sekitar dengan upaya menyelamatkan populasi yang hampir punah.
Sebagian pengelola mempertimbangkan restocking, yakni memasukkan beruang dari luar untuk menambah populasi. Namun langkah ini berisiko menghapus adaptasi lokal yang telah terbentuk selama berabad-abad. Beruang pendatang juga bisa lebih berani mendekati manusia dan memicu konflik baru.
**Implikasi Luas untuk Konservasi**
Giorgio Bertorelle, peneliti lain dalam studi ini, menegaskan bahwa dampak temuan ini bersifat luas. “Interaksi manusia dan satwa liar sering kali berbahaya bagi kelangsungan suatu spesies, tetapi j
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: